Sabang | GeRAK (Gerakan Anti-Korupsi) Aceh mensinyalir Pekerjaan
pembuatan Pengembangan kawasan wisata Lhokweng Sabang, milik Badan Pengusahaan
Kawasan Perdangangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BPKS) Sabang, diduga sarat
tindak pidana korupsi. Banda Aceh, Jum'at 30/1/2015.
Menurut Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, adanya dugaan tindak pidana korupsi pada pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur di BPKS kembali mencuat. Dalam kaitan ini, kata dia, dugaan itu tidak terlepas dari tata kelola anggaran yang amburadul dilakukan oleh BPKS dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Aroma korupsi ini tercium, kata Askhalani, didampingi Direktur WALHI Aceh, Muhammad Nur, berawal adanya laporan masyarakat, oleh GeRAK Aceh dilanjuti dengan penelusuran investigasi turun ke lokasi pekerjaan dermaga marina. Rabu siang di Sabang, 28/1/2015 lalu.
Dari hasil investigasi, katanya, "patut diduga", sebab, "pekerjaan dilaksanakan secara tidak wajar dengan kualitas yang rendah, sarat penyelewengan dana", lagian, "lokasi proyek ini sangat jauh dan terlepas dari kontrol publik", Ujarnya.
Dari data GeRAK Aceh, kata Askhalani, ada 11 paket pekerjaan yang dilaksanakan pada tahun 2013 dan 2014, hampir semua berpotensi terjadi dugaan tindak pidana korupsi.
Ini 11 paket pekerjaan sarat korupsi yang dimaksud GeRAK Aceh:
1.Pembangunan
Pelabuhan Marina dikawasan wisata Lhokweng Sabang dengan total anggaran sebesar
Rp11.793.640.000.
2. Pengawasan
Pembangunan Pelabuhan Marina dikawasan wisata Lhokweng Sabang dengan total
anggaran sebesar Rp180.000.000.
3. Penyusunan SID
Pengembangan kawasan wisata Lhokweng Sabang dengan total anggaran sebesar
Rp218.940.000.
4. Amdal kawasan
wisata Lhokweng dan KM 0 Sabang dengan total anggaran sebesar Rp744.840.000.
5. Pembangunan Pemasangan Jaringan Pipa Air Bersih di kawasan wisata Gapang-Iboih Sabang dengan total anggaran sebesar Rp6.000.000.000.
5. Pembangunan Pemasangan Jaringan Pipa Air Bersih di kawasan wisata Gapang-Iboih Sabang dengan total anggaran sebesar Rp6.000.000.000.
6. Pengawasan
Pembangunan Pemasangan Jaringan Pipa Air Bersih di kawasan wisata Gapang-Iboih
Sabang dengan total anggaran sebesar Rp144.800.000.
7. Perencanaan
Konservasi Danau Aneuk Laot dengan total anggaran sebesar Rp99.960.000.
8. Pelaksanaan Pembangunan Konservasi Danau Aneuk Laot dengan total anggaran sebesar Rp8.808.420.000. (RUP)
8. Pelaksanaan Pembangunan Konservasi Danau Aneuk Laot dengan total anggaran sebesar Rp8.808.420.000. (RUP)
9. Pengawasan
Pembangunan Konservasi Danau Aneuk Laot dengan total anggaran sebesar
Rp130.000.000.
10. Amdal Pembangunan
Reservoir dan Jaringan Air Beku kawasan Gapang-Iboih dengan total anggaran
sebesar sebesar Rp130.000.000.
11. Pembangunan
Resevoir dan Jaringan air beku kawasan Gapang-Iboih
Dari total paket pembangunan tersebut tercatat bahwa pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan sampai akhir tahun anggaran 2014 per 31 Desember 2014, ditemukan sejumlah fakta pelaksanaan pekerjaannya berkualitas sangat rendah, dan tidak sesuai dengan progres anggaran yang dicairkan, salain itu kata dia, kondisi ini menunjukkan pelaksanaan pembangunan sengaja didesain untuk mencari keuntungan dan sangat sistemik, ujar Askalani.
Sebelumnya, kata dia, "hasil investigasi GeRAK Aceh tanggal 11 Januari 2015 lalu, ditemukan beberapa paket pekerjaan tidak sesuai dengan fakta pencairan dan progres dana, dan ini menunjukan bahwa pekerjaan ini dilakukan secara tersruktur untuk kepentingan memperkaya diri sendiri", bayangkan saja, ujar Askhalani sambil menunjukan sejumlah rekaman foto, "pembangunan yang dilakukan asal-asalan, padahal jumlah anggaran yang digelontorkan untuk 11 paket pekerjaan sangat tinggi dengan total dana sebesar Rp28,7miliar," ungkapnya.
Dalam kaitan tersebut, GeRAK Aceh mendesak dan mendorong aparat penegak hukum (Kejaksaan Tinggi dan Polda Aceh-red) untuk segera dapat menindak lanjuti dan melakukan penyidikan terhadap 11 paket kegiatan pekerjaan fisik yang dikelola oleh BPKS yang bersumber dari anggaran APBN tahun 2014.
Penyidikan ini sangat penting dilakukan, kata Askhalani, mengingat proses pekerjaan terhadap aktivitas ini terkesan sangat sembunyi yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan diduga paket kegiatan ini juga menyalahi aspek lingkungan terutama terhadap pembangunan pelabuhan marina lhokweng yang diduga manyahi Amdal atau UKL-UPL dan berpotensi merusak lingkungan.
GeRAK Aceh menduga bahwa perencanaan pekerjaan 11 paket ini dilakukan secara tidak benar, alasanya, kegiatan pekerjaan dimaksud tidak mendapat pengawasan yang ketat dari para pihak penanggung jawab kegiatan, sehingga GeRAK Aceh meyakini bahwa pekerjaan bagian dari desain untuk meraup keuntungan semata, tanpa melihat aspek lingkungan (Amdal atau UKL-UPL) akibat tertutup dan tidak diketahui oleh publik di Sabang.
Menurut Kepala Divisi Advokasi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung, hasil analisis dan investigasi GeRAK Aceh disimpulkan bahwa 11 paket kegiatan pekerjaan tahun 2013-2014, diduga memenuhi unsur pelanggaran hukum, dan dapat merugikan keuangan negara. Hal ini dilihat dari beberapa aturan hukum yang dilanggar meliputi UU 31 tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu unsur pasal 2 dan pasal 3 tentang upaya memperkaya diri dan merugikan negara. Kemudian diduga melanggar Perpres 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah dimana pihak pelaksana melakukan upaya-upaya yang melanggar hukum.
Selain itu kata Hayatuddin, dilihat dari aspek lain yaitu tentang lingkungan terutama yang berhubungan dengan Amdal atau UKL-UPL dan UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Akibat hal tersebut GeRAK Aceh berharap Persoalan ini mendapat perhatian dari aparat hukum. Tutup Hayatuddin Tanjung.
Sementara itu, berdasarkan Sumber Data dan Dokumen Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh diolah dari berbagai sumber 2014, menyebutkan, untuk Rencana Umum Pengadaan (RUP) Satker BPKS Sabang, APBN TA 2014, meliputi 140 paket dengan total 208.836.835.000, meliputi; Perencanaan dan Pengawasan (Jasa Konsultasi) 43 paket, senilai 14.648.929.000. Pelaksana Pembangunan (Jasa Kontruksi) 19 paket, senilai 149.988.717.000. Pelaksanaan Pengadaan Lahan 2 paket, senilai 24.956.460.000. Penyelenggaraan Operasional Kantor dan Pengadaan (Pengadaan Barang) 20 paket, senilai 9.694.359.000. Penyelenggaraan Pelatihan, Sosial dan Promosi (Pelaksanaan Swakelola) 56 paket, senilai 9.548.370.000.
Sementara WALHI Aceh lewat rilisnya yang diterima RRI
menyatakan, Sabang Terancam Perusakan Lingkungan Massif.
Dalam kaitan itu, Direktur WALHI Aceh, Muhammad Nur, memaparkan
temuan investigasi kerusakan hutan Sabang dan dimoderatori oleh Koordinator
GeRAK Aceh, Askhalani. WALHI Aceh membahas kasus dugaan perusakan
lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh program pembangunan Badan Pengusahaan
Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS). Konferensi Pers yang
dihadiri sekitar 15 perwakilan media koran dan online. Banda Aceh, Jum’at 30 Januari 2015.
Hasil investigasi dan analisa WALHI Aceh menemukan bahwa 11
paket proyek fisik oleh BPKS ternyata menimbulkan beberapa permasalahan
lingkungan hidup, mulai dari kontradiksi kebijakan hingga bencana ekologis.
Pertama, adanya kontradiksi kepastian hukum kawasan.
Muhammad Nur menyatakan, bahwa berdasarkan SK Menhut Nomor 865 tahun 2014,
proyek BPKS termasuk dalam status lahan Area Penggunaan Lain (APL), akan tetapi dalam pola ruang Qanun No 19 Tahun
2013 kawasan proyek ini termasuk dalam kawasan hutan lindung.
Kedua, Area Penggunaan Lain (APL) lebih besar dari hutan
lindung, dimana
hutan lindung hanya seluas 3 ribu hektar atau 18 % hutan lindung, APL luas nya
mencapai 7 ribu hektar atau 44% dari total luas hutan Sabang. Pembangunan ini
dapat memperparah kerusakan lingkungan atas nama pembangunan wisata. WALHI Aceh mencatat telah terjadi beberapa kerugian ekologis
di kawasan kota wisata Sabang, seperti banjir Sabang akibat galian C,
banjir bandang di desa Pria Laot Kecamatan Sukakarya, hingga longsor di daerah
Paya Kareng, jalan Bate Shok menuju Paya Seunara Kecamatan
Sukakarya. Begitu juga dengan illegal logging dan pembangunan
jalan di dalam kawasan hutan lindung, marak terjadi di kawasan proyek.
WALHI Aceh juga memandang bahwa sebuah pembangunan haruslah
memperhatikan kajian hukum sebagai aspek legalitasnya, salah satunya terkait
kepastian dokumen AMDAL, UKL, UPL, dan izin lingkungan.
Menurut WALHI, disana terdapat beberapa produk hukum yang harus
diperhatikan dalam sebuah pembangunan, seperti UU No.41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No.32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga PP No.27 Tahun
2012 Tentang Izin Lingkungan.Semestinya, dalam sebuah pembangunan dokumen
perizinan lingkungan tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu, namun temuan
lapangan sudah ada pembangunan yang merusak bentang alam sabang tanpa plang
proyek (papan informasi) dan AMDAL. WALHI juga menegaskan bahwa BPKS seyogyanya
mengkaji kembali tugas dan wewenangnya, apakah juga harus mengurusi pembangunan
fisik yang mengubah bentang alam.
Menanggapi pertanyaan sejumlah awak media mengenai kecenderungan
pembukaan kawasan hutan yang disinyalir untuk pembangunan jalan/akses
mobilisasi, Nur menyatakan bahwa hal terpenting yang harus diperhatikan adalah
kepastian hukum sebuah pembangunan. Jangan sampai justru berpotensi merusak
lingkungan, menurunkan ketahanan bencana kawasan pesisir, sekaligus disalahgunakan
sebagai akses illegal logging lintas kawasan. Nur juga
menegaskan bahwa Pemerintah Kota Sabang harus mengambil tindakan kongrit untuk
segera mengusulkan perlindungan kekayaan hutan Sabang dari kerusakan yang
massif dan menolak SK Menhut No 865 tahun 2014 sebagai sumber
masalah besar bagi Sabang atas nama pembangunan, ujar dia.
Terkait pertanyaan rekan media apakah masyarakat sekitar kawasan
mengetahui perihal proyek ini, Fernand dari GeRAK Aceh menyatakan bahwa berdasarkan investigasi
GeRAK, baik masyarakat sekitar kawasan bahkan perwakilan DPRK Sabang juga cenderung tidak mengetahui keberadaan proyek ini. Selain
itu, distribusi dan penggunaan alat-alat berat untuk proyek terkesan sangat
tertutup, sehingga diduga sebagai proyek terselubung.
Lebih lanjut, rekan-rekan media juga mempertanyakan penindakan
yang dapat dilakukan atas kasus ini. Untuk itu, Askhalani menegaskan
bahwa kasus ini akan segera dilaporkan ke Polda Aceh, bahkan
tidak tertutup kemungkinan dilaporkan juga ke KPK. WALHI akan memfokuskan laporan dari aspek pelanggaran tata
kelola sumber daya alam dan perusakan lingkungan, sedangkan GeRAK akan menyasar
potensi korupsi sebesar 11,7 miliar atas pembangunan pelabuhan Marina di
kawasan wisata Lhokweng Sabang. | Hadi/Mj
Foto : Jalal
Foto : Jalal
Categories: